Sebuah keluarga akan menjadi
harmonis manakala masing-masing anggotanya saling mengasihi, saling menyayangi,
saling memberi dan menerima, saling mencintai serta saling mengayomi satu
dengan lainnya. Aku merasa sangat beruntung karena terlahir di dalam keluarga
yang bahagia. Aku mempunyai seorang bapak yang sangat baik, mempunyai seorang
ibu yang luar biasa, memiliki adik yang pintar dan kini aku sudah memiliki
seorang suami (Aby) yang sangat siaga.
Aku menikah diusia 24 tahun
dengan seorang laki-laki tampan asal Blora. Setelah menikah, untuk sementara
kami terpaksa harus ber-long distance.
Kami dipisahkan oleh jarak sejauh 135 km. Pekalongan - Semarang memang tidak
terlalu jauh karena bisa ditempuh dengan waktu 2-3 jam. Namun bagi sepasang
pengantin baru saat itu, rasanya tidak asyik bila hidup berjauhan. Hidup jauh
dari suami itu rasanya ada separuh jiwa yang hilang. Meskipun rasa nyaman
tinggal seatap dengan kedua orang tua akan tetapi rindu yang menggebu kepada suami
membuat hari-hariku terasa berjalan begitu lamban. Tidak ingin rasa sayang dan
cintaku kepada suami menguap, aku pun memutuskan untuk hidup bersama di
Semarang. Hidup sederhana dan seadanya yang terpenting bisa berkumpul.
Bisa hidup seatap bersama dengan
Aby itu sangat menentramkan segenap hati dan jiwa. Saat itu kami hidup di satu
ruang yang ala kadarnya berbetuk persegi panjang berukuran 3 x 5 meter. Dibawah
TPQ Masjid Al-Ikhlas BPI Semarang. Ya, satu ruang itu adalah kamar untuk
penjaga masjid. Selain mengajar di SLB, suamiku saat itu masih menjadi salah
satu penjaga masjid (takmir) sejak tahun 2001, jauh sebelum mengenaliku di IAIN
Walisongo Semarang.
Diruang kecil itu kami bahagia,
bersama merajut kasih, menyemai cinta, membina rumah tangga yang sakinah
mawaddah warohmah meskipun ruangan itu bukanlah hak milik pribadi dan hanya
bersifat sementara. Dalam lubuk hatiku yang paling dalam sering berontak, tidak
mungkin kami akan tinggal di Masjid itu selamanya, sedangkan kepengurusan Takmir
pasti akan berganti setiap periodenya.
Enam bulan memadu kasih dalam
balutan kisah kasih rumah tangga, syukur Alhamdulillah aku dipercaya Allah
untuk mengandung. Kehamilan pertamaku yang sangat aku tunggu-tunggu. Karena
memang benar salah satu tujuan orang untuk menikah adalah untuk mempunyai
keturunan. Dan Allah mengabulkan doa
kami selama ini. Awalnya aku ragu, karena saat itu aku masih dalam keadaan
terapi penyembuhan penyakit gejala tumor dikepalaku. Namun, bila Allah sudah
berkehendak dengan kalimat "Kun
Fayakun" maka terjadilah dan terbukti aku bisa hamil walaupun
kondisiku sedang sakit. Memang, banyak saran dari kerabat supaya aku menunda
kehamilanku dulu, menunggu sembuh dulu baru program untuk hamil. Akan tetapi
ada satu Kyai yang justru mendukungku agar aku segera hamil karena bisa jadi
dan dengan harapan kehadiran anak adalah obat untuk penyakitku. Dengan mengucap
bismillahirrahmanirrahiim dan yakin
akupun menjalani hari-hari kehamilanku dengan penuh rasa syukur.
Sejak aku hamil, Aby benar-benar
menjaga dan melindungiku dengan penuh rasa sayang. Ada cinta yang bertambah,
ada sayang yang berkembang, kami saling menyemai cinta satu sama lain,
kedekatan lahir dan batin kami semakin erat, Aby tidak ingin aku kenapa-napa
mengingat kondisiku yang masih lemah. Dia adalah suami yang siaga, sebisa
mungkin berusaha untuk selalu ada waktu untukku disela kesibukannya yang padat
setiap harinya. Menginjak bulan kelima usia kadunganku, kami harus hijrah. Kami
memilih untuk hidup di kontrakan karena merasa tidak enak bila sampai
melahirkan kami tetap hidup di masjid.
Ujian datang silih berganti saat
aku hamil. Kondisiku yang lemah membuat aku jatuh sakit-sakitan dan harus
opname beberapa kali, baik di Rumah sakit Semarang maupun di Pekalongan. Tentu
saja hal tersebut membutuhkan banyak uang untuk berobat maupun untuk menebus
obat. Sementara dalam masa penyembuhan aku atas izin suami akhirnya memutuskan untuk
istirahat total di rumah orang tua di Pekalongan sebelum kembali lagi ke kontrakan di Semarang
untuk menemani suami.
Hidup di kontrakan juga berbeda
180 derajat dari kehidupan saat kami masih menumpang di masjid. Kami harus
membayar air, listrik, sampah, dan lain-lain. Sedangkan semula kami hidup di
masjid semuanya gratis. Fasilitas yang ada di masjid, muali dari listrik, air,
dan tentu saja tempat bisa kami pakai tanpa harus memikirkan untuk membayar
setiap bulan. Ya, inilah hidup, tidak mungkin juga mengandalkan fasilitas
masjid secara terus menerus sedangkan kami sudah berkeluarga.
Waktu terus berjalan begitu
cepat, tepat hari Jum’at tanggal 31 Agustus 2012 lahirlah bayi kami, seorang
putri cantik ditengah-tengah kami. Buah cintaku dan suamiku. Hasil semaian
cinta kami berdua. Sujud penuh rasa syukur kuhaturkan pada sang Kholik.
Benar-benar ini adalah keajaiban Tuhan, saat aku masih harus berjuang dengan
penyakitku, Tuhan memberiku kebahagiaan yang tiada terkira. Kami sangat percaya
kehadiran buah hati dapat mengangkat rezeki untuk kami. Namun, tak dapat
dipungkiri yang namanya hidup itu penuh dengan ujian. Kerikil-kerikil tajam
datang ditengah-tengah kebahagiaan kami. Perekonomian kami semakin hari semakin
sulit. Kebutuhan untuk anak ditambah lagi kebutuhan obat herbal untukku harus
terus terpenuhi. Sedangkan pemasukan masih tetap dinominal yang sama namun
pengeluaran semakin banyak, disinilah kami diuji, kesabaran dan rasa syukur
kami benar-benar diuji.
Pernah suatu ketika saat Aby
hanya mempunyai uang yang hanya cukup untuk makan sehari, dalam hati yang
sangat bingung namun dia tak ingin membuat aku bersedih, Aby hanya bisa
membelikan sebungkus nasi di warteg, dia tidak mau makan dan memberikan nasi
itu untukku, karena kata suamiku aku butuh banyak asupan gizi supaya ASI untuk
anakku bisa tercukupi. Namun, karena aku tau Aby belum makan, maka sebungkus
nasi itu kami makan bersama, sebungkus berdua. Sangat memprihatinkan memang,
namun ini sungguh aku alami. Karena kata Aby, dia rela laper asal aku kenyang,
karena dia tak ingin melihat aku sakit. Begitu baiknya ia, walaupun aku
sakit-sakitan dan kondisi badan lemah tetapi cintanya padaku tak pernah pupus
ataupun luntur sedikitpun, selalu mempupuk cinta yang sudah subur, menyemai
cinta dengan kasih sayang tulus kepadaku.
Baru-baru ini aku protes, aku
merasa bosan karena hanya dirumah saja dengan Noofa, anakkku. Sedangkan Aby
pulang kerja dari warnet jam 11 malam, aku cemberut, merasa kurang
diperhatikan, rasanya ingin sekali bisa bersama-sama. Namun, karena memang
harus tetap bekerja demi keluarga, maka Aby menawarkan solusi kepadaku untuk
ikut ke warnet. Memang, intensitas bertemu Aby dengan Noofa sangat jarang, bisa
dibilang Aby berangkat jam 6 pagi dan pulang jam 11 malam, bisa dibayangkan Aby
berangkat Noofa masih tidur, dan ketika Aby pulang Noofa sudah tidur. Bagaimana
Noofa bisa mengenal Abynya kalau jarang bertemu? Namun, setelah ada solusi itu,
meminta aku untuk ikut ke warnet maka kami bisa bersama-sama, Noofa juga bisa
bermain dengan Aby, dan kami bisa menyemai cinta yang sudah terasa mulai layu.
Membangun kebersamaan bagi kami
sekeluarga dengan cara memperbanyak dan sesering mungkin berkumpul merupakan
salah satu cara yang paling efektif untuk senantiasa menyemai cinta diantara
kami. Meskipun harus menemani kerja suami, akan tetapi hal tersebut justru
semakin bisa menumbuhkan kasih sayang antara aku dan suami serta si kecil Noofa,
disamping juga sebagai penyemangat Aby dalam bekerja tentunya. Bahkan aku juga
merasa lebih tenang karena tidak lagi kesepian di rumah karena Aby senantiasa
berada diantara aku dan Noofa. Semoga dengan cara ini aku dan suami senantiasa
bisa memupuk keharmonisan dalam menjalani kehidupan berumah tangga dengan cinta
yang selalu bersemi sepanjang hari. Allah meridhoi dan selalu melindungi kami, Amiin.
Post a Comment
Post a Comment