Masa kecil saya bersekolah di SDN 01 Kesesi. Waktu kelas 4 SD, saya pernah disuruh Bu Guru Agama untuk mewakili sekolah mengikuti lomba MTQ. Lomba MTQ antar sekolah dasar di desa saya selalu memang diadakan setiap tahunnya, bahkan sampai sekarang masih tetap diadakan secara rutin. Awalnya saya nggak mau karena malu. Iya! Saya memang dulu orangnya pemalu, meskipun sekarang malah jadi malu-maluin. OKE fine! Hahaha
Tetapi bu Guru membujuk dengan rayuan maut sampai akhirnya saya mau. Lombanya bertahap, pertama tingkat kecamatan dulu. Bila jadi juara, lanjut ke kabupaten, dan seterusnya.
Saya minta diajarin bapak dan ibu yang kebetulan juga merupakan pelatih qori. Waktu itu ketentuan lombanya adalah surat yang akan dibacakan bebas. Karena bebas, pastilah saya memilih surat yang paling mudah, yaitu surat Al faatihah. Hehehe.. setiap hari selama seminggu saya dilatih bapak saya sendiri. Tapi, meskipun bapak saya mahir Qiro’ ternyata saya tidak mudah menghafal tausyeh dan cengkok setiap nada dalam tilawah, seperti bayati, rosh, jiharkah, dan lain sebagainya.
Bu guru selalu memantau saat saya latihan sambil terus memberi semangat kepada saya. Sampai akhirnya tibalah hari H di mana saya harus berkompetisi dengan peserta lain. MTQ yang diadakan waktu itu meliputi MTQ tingkat SD, SMP dan SMA. Saya menjadi perwakilan peserta Qiro putri dan teman saya perwakilan putra dari SDN 01 Kesesi. Berangkat ke tempat acara naik mobil diantar bu guru ke masjid samping kecamatan Kesesi.
Gemeteran dan deg-deg-an saat maju ke depan untuk registrasi, ngambil nomor urut peserta serta mengambil lintingan kertas yang sudah dikocok. Kertas tersebut isinya surat yang harus dibaca peserta MTQ. Saat membuka kertas lintingan yang saya ambil, ternyata mendapatkan surat Ali Imron ayat 30-33. Saya kaget dan ingin nangis. Bagaimana tidak, lhaa wong saya latihannya nggak pernah surat lain selain Al faatihah. Secara otomatis saya nggak bisa kalau disuruh baca surat lain untuk tilawah. Dalam hati saya, nanti mau dibaca tartil saja.
Tapi keberuntungan masih berpihak dengan saya dan teman-teman tingkat SD. Pasalnya, Juri-juri mengumumkan sebelum lomba dimulai, bahwa lintingan kertas yang berisikan surat-surat yang harus dibaca peserta berlaku untuk anak SMP dan SMA. Sedangkan peserta tingkat SD bebas. Jangan tanya bagaimana perasaan saya saat itu. Bahagia! Yang tadinya udah mau nangis karena ngerasa nggak siap membaca surat selain Alfaatihah, berubah menjadi tawa riang. Sambil memegang tangan bu guru, saya terus disemangati bu guru.
“Peserta selanjutnya adalah peserta Putri dari SDN 01 Kesesi”
Suara dari arah depan terdengar jelas. Saatnya saya maju untuk melantunkan ayat suci Alquran, Alfaatihah. Saya maju ke depan, memberi hormat, kemudian duduk. Lampu kuning menyala tanda saya harus siap-siap dan memberi salam. Kemudian lampu hijau menyala saya memulai dengan ta’awudh dan seterusnya. Durasinya lima menit untuk setiap peserta. Saat membaca …..waladhoolliiin.. lampu kuning pas menyala tanda waktu akan habis. Dan merah tandanya peserta harus segera mengakhiri. Pas! Bathin saya.
Alhamdulillah selesai, saya berdiri memberi hormat dan meninggalkan tempat. Hihihi..
Ahh legaa… tinggal nunggu pengumuman pemenang. Bu guru tersenyum melihat saya sambil beberapa kali mengucap terima kasih dan memuji saya, Mbak Noorma Hebat! Dengan pujian yang berulang-ulang.
Setelah semua peserta maju untuk menunaikan tugasnya masing-masing. Saatnya dewan juri berdeleberasi dan berdiskusi untuk menentukan pemenangnya. Tepat jam 1 siang semua peserta berkumpul kembali untuk mendengarkan pengumuman pemenang lomba MTQ jenjang SD dari dewan juri.
Deg-degan itu pasti. Namun di sisi lain saya juga nggak pengen mengecewakan ibu guru, SDN 1 Kesesi dan kedua orang tua saya. Rasa membuncah tak terelakkan mana kala nama saya disebutkan oleh dewan juri sebagai juara pertama lomba MTQ peserta putri tingkat SD dan bisa melanjutkan ke tingkat kabupaten. ALHAMDULILLAH saya bisa menjadi juara, walau masih tingkat kecamatan tapi itu merupakan prestasi dan kenangan yang tak bisa saya lupakan sampai saat ini.
Setelah selesai lomba, saya kembali ke SDN 1 Kesesi, saat itu bu guru memberi saya amplop, sampai di rumah saya baru membukanya, ternyata isinya uang 20.000 rupiah. Alhamdulillah, meskipun jumlahnya hanya segitu namun saat tahun 1997 uang 20 rb bagi saya sangatlah banyak jumlahnya. Uang tersebut saya tabung untuk membeli sepatu saat kenaikan kelas V SD. Hehe..
Lalu? Ketika lomba di tingkat Kabupaten Pekalongan menang lagi nggak? Jawabannya ENGGAK! Saya tidak juara 1 lagi, tetapi Cuma mendapatkan juara harapan 3. Hahaha.. Alhamdulillah lah ya. Walaupun begitu, itu adalah pengalaman dan kenangan yang hingga saat ini masih dan akan terus saya ingat.
Kalau kamu, kenangan masa kecil apa yang tak terlupakan?? Share duonk.. *__*
Post a Comment
Post a Comment