Aku adalah anak pertama dari pasangan Bapak
Miftahudin dan Ibu Buniyah yang lahir di daerah Lubuk Linggau Palembang,
Sumatra Selatan. Kata bapak, saat berangkat transmigrasi ke Sumatra aku masih
di dalam kandungan, dimana saat itu usia kandungan Ibuku baru menginjak usia
lima bulan. Dengan tujuan supaya ketika aku dewasa nanti aku akan terbiasa
hidup merantau jauh dari orang tua, begitulah yang bapak tuturkan. Tapi, kisah
transmigrasi berakhir saat aku sudah terlahir di dunia ini dan di usiaku tiga
belas bulan, kami (bapak, Ibu dan Aku) kembali ke Pulau Jawa. Bapakku pun
meninggalkan semua pekerjaan yang sudah mulai dirintis selama kurang lebih dua
tahun disana, dan menurut bapakku, hidup di Jawa lebih tentram dan menyenangkan
karena dekat dengan keluarga.
Jambore, salah satu kegiatan pramuka waktu di Pondok, dan aku menjadi PINRU putri lhoo :D |
Seiring berjalannya waktu, aku tumbuh besar hingga
akhirnya aku menyelesaikan sekolah dasar di SDN 01 Kesesi. Setelah lulus SD,
aku langsung meminta kepada bapak ibuku untuk melanjutkan sekolah di Pesantren.
Awalnya Ibuku ragu untuk melepasku merantau jauh di usia yang terhitung masih
kecil. Disamping itu aku juga anak yang masih sangat manja dengan orang tua,
bahkan mencuci baju aja aku nggak pernah. Ahh.. tapi karena tekad bulat untuk
jihad fi sabilillah, bapakku mengijinkan bahkan sangat setuju dengan keinginanku
untuk melanjutkan studiku ke Pesantren. dan Ponpes yang aku pilih adalah Ponpes
Modern Daaru Ulil Albaab yang terletak di Tegal. Pondok Modern cabang Gontor Jawa
Timur ini menjadi tempat aku belajar mandiri tanpa orang tua disampingku.
Selama tiga tahun aku merantau dan belajar di pondok ini,
banyak pelajaran dan pengalaman, salah satunya yang masih bisa aku praktekkan
sampe sekarang ini adalah cara berorganisasi dan bersosialisasi. Yah..
sekalipun singkat, tapi banyak sekali yang sudah aku dapatkan dari belajar di
ponpes modern ini.
Setelah lulus SMP, akupun melanjutkan sekolah MAN 2
Pekalongan, lagi-lagi aku harus jauh dari orang tuaku, karena jarak rumahku
dengan sekolahan sekitar 35 KM, maka akan sangat meletihkan bila aku harus
laju. So, pilihan yang terbaik adalah ngekost di daerah yang dekat dengan
sekolahanku. Rumah kost yang aku tempati bukan kost-kostan yang bebas, tapi aku
memilih kost-kostan seperti asrama yang selalu dipantau oleh murobbynya. Kenapa
aku memilih asrama? Yaah.. karena aku nggak mau kalo aku hidup jauh dari orang
tua tanpa pengawasan orang yang bisa menjadi wakil dari orang tuaku. Di asrama
ini aku punya banyak teman. Selain di sekolah, banyak kegiatan yang aku lakukan
di asrama ini sekaligus sudah menjadi peraturan anak-anak penghuni asrama Deni
Indah ini. Di asrama ini, ada kegiatan mengaji bersama, marhabanan,
bersih-bersih, belajar kelompok, dan masih banyak lagi. Yang pasti kegiatan
yang kami lakukan adalah kegiatan-kegiatan positif. Yah, setidaknya
kebiasaan-kebiasaan yang aku lakukan di pesantren masih bisa aku lakukan di
asrama tercinta ini.
Syukur Alhamdulillah tiga tahun sudah aku belajar di MAN 2
Pekalongan, akupun dinyatakan lulus. Saat itu sebenarnya aku pengen jadi Bidan
dan kuliah di AKBID, tapi takdir berkata lain. kecelakaan yang membuatku sempat
tidak bisa berjalan tegap selama tiga bulan memaksaku untuk gigit jari karena
tidak bisa mendaftar kuliah di AKBID dalam keadaan cacat. Hiikz..
Setelah itu, aku memutuskan untuk tetap kuliah walaupun tidak
di AKBID. Lalu, aku mendaftar kuliah di IAIN Walisongo, Semarang. Yah..
sepertinya merantauku 6 tahun masih kurang, pasalnya jarak Pekalongan –
Semarang tidaklah dekat. Maka aku tetap harus ngekost selama masa studiku di
Semarang. Seperti halnya waktu di MAN, akupun memilih kos-kosan yang serumah
dengan tuan rumahnya, dan seperti asrama. Berjodohlah aku di kos-kosan yang
tempatnya sejuk, Asrama Iskandariyah. Disini banyak teman baru, dan pastinya
teman-teman baruku ini mempunyai karakter yang bervariatif. Adaptasi demi
adaptasi aku lakoni, susah senang aku jalani. Banyak belajar dari kisah teman
dan aku jadikan pelajaran berharga dalam hidup.
Suatu hal yang paling berkesan dari rantauanku adalah, aku
bisa bertemu dengan jodohku. Aku bisa bertemu dengan Aby karena sama-sama
kuliah di IAIN, yah.. walaupun aby adalah kakak angkatanku jauh, tapi inilah
takdir Allah. Kamipun bisa disatukan, hasil dari perantauan kita. Aby merantau
dari Blora ke Semarang dan aku merantau dari Pekalongan ke Semarang.
Inilah hidupku, sejak usia 12 tahun sampe kini 25 tahun sudah
hidup berpisah dengan orang tua karena harus belajar ditempat yang jauh dari
rumah dengan cara merantau jihad fi sabilillah. Banyak hal manis dan pahit yang
aku alami, serba serbi kehidupan yang aku jalani ini selalu menjadi pelajaran
berharga dalam hidupku ini. Terima kasih bapak dan Ibu, karena doamu rantauanku
tidak sia-sia, aku kuat disini juga karena kekuatanmu. Sejak dalam rahim sudah
ditanamkan untuk bisa hidup mandiri. Dan inilah aku sekarang. :D
Artikel ini diikutsertakan dalam GiveAway Gendu-Gendu Rasa Perantau
Post a Comment
Post a Comment