Apa yang menjadi tujuan dari orang tua ketika memasukkan
anaknya ke sebuah lembaga pendidikan? Jawabnya tentu saja agar mendapatkan
kehidupan yang lebih baik ke depannya. Untuk mendapatkan kehidupan yang lebih
baik, bisa diraih manakala seseorang memiliki pendidikan yang baik pula. Oleh
sebab itulah bisa dikatakan bahwa kunci meraih kehidupan yang baik adalah
pendidikan yang baik pula.
Pendidikan yang menghasilkan kehidupan yang lebih baik bagi output-nya tentu saja didapat dari
pendidikan yang membebaskan, bukan pendidikan yang mendehumanisasi (hlm. 5).
Itu artinya bahwa pendidikan yang membebaskan adalah model pendidikan terbaik
untuk menciptakan generasi unggul serta sumber daya manusia yang berkualitas.
Paling tidak itulah gambaran yang diinginkan oleh penulis buku “Pendidikan Yang
Membebaskan”.
Buku ini berjumlah 100 halaman yang terdiri atas 14 bab
utama. Namun secara umum penulis ingin menjabarkan konsep pendidikan yang
membebaskan menurut Paulo Freire, pendidikan menurut UU Sisdiknas, pendidikan
yang membebaskan di sekolah miskin, pendidikan yang memanusiakan , pendidikan
sebagai transformasi sosial, serta pendidikan yang demokratis.
Pada bab pertama, penulis menjelaskan tentang pendidikan yang
membebaskan menurut Freire. Bagi Freire pendidikan yang membebaskan dalam arti
anti-kolonialis yaitu pendidikan harus menjadi cara untuk membebaskan peserta
didik dari segala macam bentuk penjajahan, apalagi penjajahan dalam arti sebenarnya. Gamblangnya apa yang dilakukan oleh
Freire adalah pendidikan penyadaran dalam diri peserta didik menuju pemanusiaan
yang sebenarnya. Pendidikan yang semacam ini adalah hak bagi setiap anak
manusia tanpa kecuali (hlm. 12-13).
Pada bab kedua, penulis akan menjelaskan pendidikan menurut
UU Sisdiknas. Berdasarkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dari pengertian tersebut sangat jelas
bahwa tujuan diselenggarakannya pendidikan adalah agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Mengembangkan potensi yang ada
dalam diri peserta didik ini adalah kunci penting diselenggarakannya sebuah
proses pendidikan yang membebaskan (hlm. 15).
Bab ketiga dijelaskan bahwa pendidikan bukanlah mengisi gelas
kosong. Pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang diberikan kepada
anak didik sesuai dengan perkembangan dan potensi yang dimiliki oleh anak didik
agar tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang merdeka (hlm. 22). Maksdnya
bahwa manusia merdeka adalah mereka yang nantinya bisa merasakan kebahagiaan
dalam hidup.
Bab keempat, berisikan sebuah kisah nyata tentang pendidikan
yang membebaskan di sekolah miskin. Pendidikan yang semacam itu penulis
gambarkan dengan ibu Muslimah beserta murid-muridnya sebagaimana yang
diceritakan dalam sebuah novel Laskar Pelangi karya Abdrea Hirata. Bagi penulis
buku ini sendiri bahwa untuk menciptakan sebuah pendidikan yang membebaskan hal
yang penting adalah semangat seseorang yang kemudian ditularkan kepada anak
didiknya untuk berproses bersama-sama dalam pendidikan yang membebaskan
(hlm.31).
Bab kelima, mengupas tentang ciri-ciri pendidikan yang
membebaskan, yaitu pendidikan yang murid berperan aktif. Pendidikan yang
membebaskan adalah sebuah model pendidikan yang murid berperan aktif dalam
proses belajar yang sedang berlangsung. Dalam arti pendidikan yang membebaskan
peran guru yang paling penting adalah mendampingi anak didik. Disinilah
dibutuhkan guru yang mampu membuat muridnya bisa berperan aktif terlibat dalam
memahami ilmu pengetahuan (hlm 33&37).
Bab kekenam, menjelaskan tentang pendidikan yang
memanusiakan. Konsep pendidikan tersebut adalah pendidikan yang dihadapkan pada
realitas sosial, maksudnya pendidikan yang membangun kesadaran kritis anak
didik dalam menghadapi realitas sosial. Kesadaran kritis ini penting agar anak
didik bisa menilai secara jernih sekaligus bisa bersikap untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapinya (hlm. 42).
Bab ketujuh,
menguraikan tentang pendidikan sebagai proses transformasi sosial.
Pandangan positif yang menyatakan pendidikan sebagai proses transformasi sosial
berangkat dari sebuah asumsi dasar bahwa kenyataan yang dialami oleh manusia merupakan
sebuah proses. Setiap manusia senantiasa
menjalani sebuah proses untuk “menjadi” (hlm.45). Dalam hal inilah dapat
diketahui bahwa sesungguhnya proses pendidikan tidak bisa dilepaskan dari
persoalan sosial, karena masalah sosial pada hakekatnya merupakan bagian dari
pendidikan itu sendiri.
Baba kedelapan, menjelaskan bahwa pendidikan yang membebaskan
adalah pendidikan yang demokratis. Yaitu sebuah proses pendidikan yang mengatur
hubungan guru dan murid dapat berimbang sehingga bisa saling menyampaikan
pendapat dan pikiran. Guru tidak hanya menyampaikan materi, sedangkan murid
hanya mendengarkan dan menerima apa adanya. Dalam pendidikan yang demokratis,
murid juga sangat penting untuk didengar pendapatnya, diberi kesempatan untuk
menunjukkan kemampuannya, atau dihargai apa yang menjadi keinginannya dalam
proses belajar-mengajar (hlm. 47).
Bab kesembilan, menjelaskan tentang fungsi sebenarnya
pendidikan. Disini dijelaskan bahwa pendidikan berfungsi sebagai wahana
membangun kesadaran anak didik agar tetap menyadari kemanusiaannya. Pendidikan
jangan sampai menjadi mesin industry sehingga menjadikan anak didiknya
robot-robot kapitalisme. Jangan sampai pendidikan hanya menjadi mesin industri
hingga melupakan untuk membangun kesadaran akan hakikat kemanusiaan (hlm. 57).
Bab kesepuluh membahas tentang pendidikan yang dialogis
sebagai ciri utama pendidikan yang membebaskan. Pendidikan yang dialogis dapat
dilakukan jika seorang guru berpandangan bahwa tugasnya adalah mendampingi anak
didik dalam proses belajar mengajar. Pada saat seorang guru berpandangan bahwa
tugasnya mendampingi, yang ada dalam hubungan ini adalah kesejajaran (hlm. 62).
Inilah yang merupakan salah satu ciri utama pendidikan yang membebaskan, yaitu
ada pola sesajar antara guru dan murid.
Bab kesebelas, berisi tentang pendidikan yang menghormati
perbedaan pendapat. Salah satu penyebab mengapa pendidikan yang membebaskan
tidak mungkin bisa terlaksana apabila masih ada pemaksaan untuk sama dalam
memahami sesuatu. Jika dalam pendidikan anak didik tidak dibiasakan dengan
praktik saling menghormati perbedaan
pendapat, sulit mencapai pendidikan yang membebaskan. Dalam pendidikan
yang membebaskan, anak didik tidak boleh dipaksa seragam dalam berpendapat.
Bila terjadi perbedaan pendapat dari anak didik, sungguh hal itu harus
dihormati (hlm. 64)
Bab keduabelas, mengupas tentang pendidikan menuju
kemerdekaan. Dalam bab ini dijelaskan bahwa pendidikan yang membebaskan pada
hakikatnya adalah pendidikan yang memerdekakan setiap manusia dari segala
sesuatu yang menindas. Anak manusia harus dibebaskan dirinya dan jangan sampai
terus menerus atau semakin tertindas kehidupannya. Oleh sebab itulah pendidikan
harus bisa membebaskan peserta didiknya dari segala macam bentuk penindasan
(hlm. 67).
Bab ketigabelas, menjelaskan tentang pendidikan yang kritis.
Pendidikan semestinya membangun kesadaran anak didik untuk berani bersikap dan
kritis terhadap status quo. Hal ini bukan berarti membangun kesadaran anak
didik agar selalu berpikir untuk memberontak terhadap status quo. Akan tetapi,
kesadaran untuk berani bersikap dan kritis terhadap status quo ini sangat
penting agar jangan sampai yang satu ditindas oleh manusia yang lainnya; jangan
sampai kelompok yang satu mengebiri kelompok yang lainnya (hlm. 77).
Bab keempatbelas, berisi tentang pendidikan yang membebaskan
dengan sebuah kisah nyata belajar dari sekolah Tomoe Gakuen. Dalam bab ini
khusus menceritakan tentang sebuah sekolah yang membebaskan murid-muridnya
dalam melakukan sesuatu. Toto Chan adalah salah satu murid di sekolah tersebut yang
memiliki keistimewaan karena sangat kritis serta memiliki keingintahuan yang
besar. Di sekolah tomoe Gakuen pula akhirnya Toto Chan bisa belajar dengan
bebas yang itu tidak bisa dilakukan ketika Toto Chan belajar di sekolah
sebelumnya.
Jadi, kemerdekaan anak-anak dalam belajar adalah hal yang
sangat penting diperhatikan dalam proses belajar-mengajar (hlm. 85). Satu hal
yang harus dicatat, bahwasanya kemerdekaan dan kebebasan dalam pendidikan
adalah salah satu kunci utama untuk menciptakan proses pembelajaran yang dapat
melahirkan generasi yang unggul. Selamat belajar!
NB:
Terima kasih saya ucapkan kepada Ustadz Akhmad Muhaimin Azzet yang telah memberikan buku ini gratis :)
Judul Buku :
Pendidikan Yang Membebaskan
Pengarang :
Akhmad Muhaimin Azzet
Penerbit :
Ar Ruzz Media, Jogjakarta
Tahun terbit : 2011
Jumlah Halaman : 100
NB:
Terima kasih saya ucapkan kepada Ustadz Akhmad Muhaimin Azzet yang telah memberikan buku ini gratis :)
Post a Comment
Post a Comment