Dewasa
ini berbagai peran perempuan diranah publik tidak boleh dipandang sebelah mata.
Perempuan memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki dalam barbagai bidang
profesi, salah satunya adalah menjadi seorang pemimpin. Pemimpin yang penulis
maksud adalah pemimpin yang berkaitan dengan masalah politik, baik itu menjadi
wakil rakyat (Legislatif) baik di DPR RI maupun DPRD, maupun pemimpin
(ekskutif) menjadi kepala daerah baik itu Bupati, Wali Kota, Gubernur maupun
menjadi seorang Presiden.
Hingga
saat ini wacana kepemimpinan perempuan selalu hangat untuk dibicarakan, baik
itu yang pro dan kontra. Bagi yang pro mengatakan bahwa perempuan berhak
menjadi pemimpin asal mereka mampu. Sedangkan yang menolak kepemimpinan
perempuan menilai bahwa dalam ajaran agama (Islam) kepemimpinan selalu dipegang
oleh laki-laki bukan perempuan. Bahkan para ulama salaf menolak dan melarang
perempuan menjadi pemimpin dengan berbagai alasan, diantaranya adalah bahwa
mengangkat perempuan menjadi pemimpin hukumnya adalah haram.
Mereka
memiliki kenyakinan bahwa perempuan tidak berhak menjadi pemimpin, baik
pemimpim domestik (rumah tangga) maupun
pemimpim publik (masyarakat). Kaum hawa hanya berhak dipimpin oleh laki-laki
dalam berbagai sendi kehidupan dan profesi, baik itu dalam hal rumah tangga,
pendidikan, perdagangan, bisnis lebih-lebih dalam masalah hukum dan politik.
Semua itu didasarkan pada salah satu Firman Allah yang mengatakan bahwa “Kaum
laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita (QS. An Nisaa (4):34)
Dari
pandangan itulah akhirnya kaum perempuan dianggap tidak pantas menjadi seorang pemimpin,
lebih-lebih menjadi pemimpin masyarakat karena dianggap lemah, tidak amanah
serta yang paling penting adalah tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Lalu
bagaimana jika ternyata saat ini banyak perempuan memiliki kemampuan memimpin
seperti laki-laki bahkan lebih baik? Apakah perempuan tersebut tetap tidak
diperbolehkan menjadi seorang pemimpin? Apa tidak sebaiknya kita memberi
kesempatan bagi perempuan yang memiliki kemampuan lebih dalam memimpin untuk menunjukkan kemampuannya kepada kita semua.
Faktor
Budaya
Jika
kita mau merunut sejarah, kepemimpinan seorang perempuan sudah ada sejak zaman
Nabi Sulaiman, yaitu pemimpin sebuah negeri Saba’ yang bernama Ratu Balqis. Dengan
segala kemampuannya Ratu Balqis dapat memimpin rakyatnya dengan baik sehingga
negeri tersebut makmur dan sejahtera. Bahkan pada akhirnya Nabi Sulaiman tertarik
memperistrikan sang ratu dan mempersatukan kedua kerajaan tanpa merendahkan
kedudukan Balqis sebagai Ratu.
Di
Indonesia sendiri sejarah kepemimpinan perempuan juga pernah ditunjukkan oleh
Ratu Sima (674 - 695 M). Meskipun seorang perempuan Ratu Sima dapat memimpin
kerajaan Kalingga (Jepara, Jawa Tengah) dengan sangat adil dan bijaksana,
sehingga sangat wajar di masa itu rakyat Kalingga dapat hidup dengan aman dan
sejahtera. Kisah kedua ratu (perempuan) diatas merupakan satu bukti bahwa perempuan
juga dapat menjadi seorang pemimpin yang berhasil.
Pada
dasarnya masih banyaknya penolakan kepemimpinan seorang perempuan di negeri ini
bukan disebabkan karena sosok perempuan tidak mampu mengemban amanah sebagai
pemimpin melainkan karena faktor budaya. Yaitu telah mengguritanya tonggak
kepemimpinan dipegang dan dikendalikan oleh laki-laki. Sehingga kedaan tersebut
pada akhirnya melahirkan suatu sikap yang menghegemoni cara pandang masyarakat dan
seolah mereka dibuat selalu "mengamini" kepemimpinan laki-laki
dibanding kepemimpinan perempuan.
Dalam
hal ini, ranah ajaran agama juga menjadi salah satu faktor yang melanggengkan
budaya tersebut. Dimana kepemimpinan laki-laki dianggap mutlak, dan
kepemimpinan perempuan tidak dibenarkan dengan merujuk pada sebuah hadis yang selalu
dijadikan jargon bahwa kepemimpinan perempuan takkan menghasilkan apa-apa
kecuali kemudhorotan (keburukan). Atau sebuah hadist yang berbunyi “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang
menyerahkan urusan kekuasaan/ pemerintahan mereka kepada seorang wanita (HR
Bukhari)”.
Dalam
konteks keIndonesiaan masalah kepemimpinan seorang perempuan hendaknya juga
dimaknai dengan melihat realitas masyarakat Indonesia. Apalagi dalam Pancasila
dan Undang-Undang 1945 kedudukan setiap warga Negara termasuk di dalamnya
perempuan bersama hak-haknya (berpolitik) sangat dilindungi. Memilih ataupun dipilih
sebagai pemimpin adalah hak setiap masyarakat yang memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh UUD tak terkecuali bagi perempuan.
Kesempatan
Sangat
naif jika saat ini masalah kepemimpinan perempuan masih dipermasalahkan oleh
sebagian orang. Karena dalam beberapa waktu belakangan di Indonesia telah
beberapa kali muncul pemimpin perempuan yang berhasil memimpin suatu daerah.
Bahkan negeri ini juga sempat dipimpin oleh presiden perempuan yaitu Ibu
Megawati Soekarno Putri. Munculnya beberapa pemimpin dari kaum hawa tersebut
menunjukkan bahwa mereka juga mampu menjadi pemimpin masyarakat jika diberi
kesempatan. Selain itu, hal tersebut juga merupakan bukti bahwa kesetaraan
gender di negeri ini mulai terbangun dengan baik.
Adanya
penafsiran-penafsiran yang memojokkan kelamin tertentu, serta mengajarkan
tentang diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam masalah kepemimpinan
hendaknya segera dievaluasi. Al Quran sendiri telah mengajarkan bahwa laki-laki
dan perempuan memiliki posisi yang sama dimata Allah, yang membedakan hanya
kadar taqwanya. Jadi, jika masih ada pandangan yang menyudutkan kepemimpinan perempuan
sudah selayaknya kita ubah, karena yang diajarkan didalam Al quran itu adalah
keadilan.
Di
Indonesia saat ini terdapat pula beberapa Kabupaten dan Kota serta Provinsi
yang pemimpinya adalah seorang perempuan. Provinsi Banten misalnya, dipimpin
oleh Ratu Atut Chosyiah, Kota Surabaya dipimpin oleh Tri Risma Harini, Kota
Tangerang dipimpin oleh Airin Rachmi Diany. Di Jawa Tengah sendiri beberapa
Kabupaten dipimpin oleh Bupati perempuan, Widya Kandi Susanti (Kendal), Rina
Iriani (Karangayar).
Yang
terbaru tentu saja kabar majunya Rustriningsih, Wakil Gubernur Jawa Tengah
periode 2008-2012 menjadi calon gubernur Jateng periode 2013-2018. Mantan
Bupati Kebumen dua periode tersebut
tentu bukan perempuan biasa karena pernah menjabat Bupati dua kali dan berhasil
serta sebagai Wagub Jateng juga tak kalah suksesnya. Keberhasilan
perempuan-perempuan diatas sebagai pemimpin di daerahnya masing-masing adalah
cermin dan bukti bahwa perempuan juga dapat
menjadi pemimpin yang berhasil asal diberi kesempatan untuk membuktikan diri.
Post a Comment
Post a Comment