Seorang laki-laki dilahirkan di
sebuah desa selatan kota Pemalang, tepatnya di desa Mengori Kecamatan Pemalang
dengan nama Miftahudin. Saat kecil ayahnya telah meninggal dunia, sehingga dia
menjadi seorang yatim bersama beberapa saudaranya. Ditengah keadaan keluarga
yang miskin, Miftahudin memiliki cita-cita yang sangat tinggi, yaitu ingin
merubah nasibnya menjadi lebih baik dan mulia demi mengangkat derajat keluarga
terutama ibundanya tercinta.
Berbekal cita-cita itulah,
Miftahudin berjuang keras untuk bisa mendapatkan pendidikan yang layak meskipun
dengan usaha sendiri. Setelah lulus Sekolah Dasar Miftahudin terpaksa berhenti
sekolah selama dua tahun dan memilih membantu orang tua dengan mengurus ternak
yang dimiliki keluarga, baru setelah ada sedikit biaya akhirnya ia meneruskan
pendidikannya ke jenjang Madrasah Tsanawiyah (MTs) di kota kelahirannya. Saat MTs
inilah, Miftahudin mulai melakukan perjuangannya yaitu bersekolah dengan biaya
sendiri. Biaya sekolah sebagian dia dapatkan dari hasil bakat yang dimilikinya
yaitu pandai mengaji (qori).
Berkat pandai qori’ tak jarang ia
ditugaskan mewakili sekolahnya untuk lomba qiroah tingkat kecamatan, tingkat
kabupaten hingga tingkat provinsi. Juara pertama tak jarang ia raih, berkat hal
itulah dia mendapatkan keringanan biaya pendidikan. Keriganan biaya pendidikan
juga ia peroleh saat melajutkan ke jenjang Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN)
di kota Pekalongan.
Waktu masih di PGAN Pekalongan
inilah kemampuan qiraahnya semakin matang, dan sering diundang saat ada acara
pengajian-pengajian. Bukan hanya itu saja, Miftahudin juga sering diminta
mengajar qiraah anak-anak disekitar tempatnya mondok. Dari sinilah biaya
pendidikan dan biaya hidup Miftahudin tercukupi, sehingga keluarga terutama
ibundanya tidak terlalu terbebani dengan biaya pendidikan anaknya.
Saat masih di PGAN Pekalongan
inilah, Miftahudin bertemu dengan jodohnya yang bernama Buniyah yang tak lain merupakan
adik angkatannya. Setelah menikah, Miftahudin memutuskan untuk mengikuti
program transmigrasi ke pulau Sumatera. Di pulau seberang inilah anak pertama
pasangan Miftahudin-Buniyah lahir dan diberi nama Noorma Fitriana M Zain, dan
itulah aku. Hidup di tanah transmigrasi, ayahku bekerja sebagai seorang guru
dengan jarak tempuh yang sangat jauh karena harus melewati hutan belantara, dan
medan yang sulit dilewati. Namun, ayahku tetap bersemangat dalam mengajar
meskipun dengan gaji sangat kecil. Cerita perjuangan bapak tersebut aku dapat
dari ibuku sebagai saksi hidup bagaimana bapak mendedikasikan hidupnya untuk
mengajar di daerah pedalaman Sumatera.
Hidup di tanah Sumatera tidak
lama, karena musibah melanda keluarga bapak. Kata ibu, sewaktu aku bayi pernah
jatuh dari tempat tidur bahkan akibatnya aku tidak bernafas alias meninggal. Di
saat-saat itulah bapak berjanji, jika aku hidup lagi maka akan dibawa pulang ke
tanah Jawa. Karea kehendak Allah ternyata aku bisa bernafas lagi, dan akhirnya
bapak dan ibu memutuskan untuk kembali ke Jawa dan memutuskan untuk hidup di
tanah kelahiran ibuku yaitu desa Kesesi Kabupaten Pekalongan.
Lembaran Baru
Setelah sampai di Jawa, lembaran baru keluargaku dimulai. Keluargaku
hidup dengan hanya mengontrak rumah kecil diantara pemukiman warga kampung
Tanjungan Kesesi, bapak juga mulai mengabdi menjadi guru honorer di beberapa
sekolah. Selain mengajar, bapak juga mempunyai pekerjaan lain mulai dari tukang
foto, hingga menjual es lilin keliling kampung. Semua itu dijalani dengan
ikhlas demi keluarga tercinta. Saat itulah, bapak benar-benar mulai kehidupan
baru di Kesesi dari nol.
Setelah beberapa tahun hidup di
Kesesi, kehidupan keluargaku mulai membaik, bapak diterima menjadi PNS tahun 1992.
Perlahan namun pasti, bapak menabung dan hasil tabungannya digunakan untuk
berbisnis, salah satunya adalah dengan membeli mobil truk untuk mengangkut
pasir. Namun sayang usaha tersebut akhirnya gagal karena truk yang digunakan
untuk usaha mengangkut pasir tenggelam saat peristiwa banjir bandang di kali Kesesi.
Saat itu truk sedang mengisi pasir, namun tanpa disadari banjir datang
tiba-tiba dan truk tidak bisa terselamatkan.
Meskipun mengalami kerugian namun
bapak tidak patah arang, beliau tetap menjadi seorang guru Agama Islam dengan
semangat. Disamping mengajar, bapak juga melanjutkan pendidikannya dengan
kuliah lagi di STAIN Pekalongan demi meraih gelar Sarjana (S1). Dalam masalah
pendidikan bapakku memang tidak kenal kompromi, pendidikan baginya merupakan
hal terpenting yang harus senantiasa diperjuangkan demi meraih masa depan yang
lebih baik.
Bahkan saat ini bapakku terus
ingin melanjutkan kuliah lagi ke jenjang yang lebih tinggi, padahal gelar S2
dari dua perguruan tinggi telah ia genggam yaitu dari salah satu perguruan
tinggi swasta di Jakarta, dan dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo.
Namun demikian, beliau tetap ingin melanjutkan
ke program Doktoral (S3) jika ada kesempatan. Itulah semangat membara
yang dimiliki oleh bapak tentang pendidikan.
Dalam persoalan bisa memberikan
manfaat dan berbagi kepada orang lain, bapak tidak hanya melakukannya dengan
cara menjadi pengajar dan pendidik saja, bapak juga mengabdikan dirinya menjadi
pengajar qori bagi anak-anak baik tingkat SD-SMA di daerah Kesesi. Bapak juga
sejak lama menularkan ilmu agama yang dimilikinya dengan menjadi Mubaligh
meskipun hingga saat ini hanya sering mengisi pengajian di wilayah Batang,
Pekalongan, Pemalang, Tegal dan Brebes. Bukan hanya itu saja, bapak juga
mendarmabaktikan waktunya untuk menjadi pengurus berbagai organisasi baik itu
menjadi takmir masjid dan musholla di sekitar rumah maupun menjadi pengurus
organisasi keagamaan di Kecamatan Kesesi terutama sebagai seksi dakwah dan
pendidikan.
Pengalaman pahit waktu kecil,
juga menjadi factor pendorong bagi bapak untuk membantu membiayai pendidikan
saudara-saudaranya, terutama keponakan-keponakan yang berasal dari keluarga
kurang mampu. Semua itu dilakukan semata-mata karena ingin melihat generasi
muda bangsa Indonesia menjadi generasi yang cerdas dan mencerdaskan. Bapak
tidak ingin melihat anak-anak putus sekolah sebagaimana yang telah dialami
bapak sewaktu kecil.
Perjuangan bapak dalam meraih
cita-citanya, terutama dalam hal pendidikan serta semangat beliau dalam berbagi
dan memberikan manfaat hidup kepada orang lain (sesama) itulah yang
menginspirasiku untuk bisa meneladaninya. Apalagi pendidikan yang beliau tempuh
sejak kecil hingga bisa memperoleh gelar Magister merupakan hasil kerja keras
beliau sendiri tanpa bantuan orang lain. Saat ini mungkin orang lain, terutama
yang hidup di lingkungan keluarga kami menilai bahwa Bapak telah sukses, karena
sudah bisa membangun sebuah rumah relatif baik, memiliki mobil pribadi, serta
bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang perguruan tinggi. Namun, satu
hal yang mungkin tidak diketahui orang lain bahwa semua itu merupakan hasil
kerja keras bapak yang benar-benar dimulai dari nol.
Bersama Kita Sebarkan Kebaikandengan #SemangatBerbagi. Ikuti acara puncak Smarfren #SemangatBerbagi tanggal19 Juli 2014 di Cilandak Town Square Jakarta.
Post a Comment
Post a Comment