“Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya
dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.” (Qs. Luqman : 14)
Dalam ayat ini diterangkan bahwa ibu mengalami tiga macam
kepayahan, yang pertama adalah hamil, kemudian melahirkan dan selanjutnya
menyusui. Maka dari itu
kebaikan kepada ibu tiga kali lebih besar daripada kepada ayah. Seperti
halnya lirik salah satu lagu qosidah yang berjudul Derajat Ibu, kurang lebih
seperti ini liriknya:
Ibu kaulah
wanita yang mulia
Derajatmu tiga tingkat dibanding Ayah
Ibu kaulah wanita yang mulia
Derajatmu tiga tingkat dibanding Ayah
Derajatmu tiga tingkat dibanding Ayah
Ibu kaulah wanita yang mulia
Derajatmu tiga tingkat dibanding Ayah
Kau
mengandung melahirkan menyusui
Mengasuh dan merawat lalu membesarkan
Putra Puterimu Ibu..
Mengasuh dan merawat lalu membesarkan
Putra Puterimu Ibu..
*********
Aku adalah anak pertama dari pasangan bapak Miftahudin
dan Ibu Buniyah, aku tiga bersaudara. Alhamdulillah aku mempunyai orang tua
yang sangat baik, mereka menyayangiku sedari kecil hingga kini dan sampai nanti.
“Ibu dan Bapak
akan tetap menjadi orang tuamu sampai kapanpun, walaupun kamu sekarang sudah
punya suami dan anak, jadi jangan khawatir, apapun yang kamu butuhkan saat kamu
sedang sulit, insya Allah Ibu dan Bapak siap membantu bahkan tanpa kamu minta”.
Kalimat itu sering kali diucapkan oleh mereka, kedua
orangtuaku. Kalimat yang terdiri dari beberapa kata itu sering kali teringat
dalam ingatan mana kala aku sedang bersama Noofa, anak perempuanku yang cantik. Saat
melihat Noofa, aku membayangkan Noofa adalah aku waktu kecil. Kalau Noofa
rewel, begitulah aku dahulu yang sudah pasti juga rewel, saat Noofa nakal
mungkin aku waktu kecil lebih nakal. Kebahagiaan mempunyai Noofa, begitu juga
kebahagiaan Ibu mempunyai aku. Kehadiran Noofa memang menjadi ‘cermin’ sendiri
buat aku, bahwa menjadi seorang Ibu memanglah ‘istimewa’.
Kemudian kalau ditanya, moment apa yang mengesankan
dan tak akan terlupakan bersama Ibu? Aku pasti akan menjawab semua kebersamaan
dengan Ibu adalah mengesankan dan takkan pernah bisa dilupakan. Tapi bila disuruh menceritakan salah satu diantaranya, aku akan
bercerita tentang diriku dengan Ibu saat aku akan melahirkan Noofa. Hmmm, Kalau teringat saat itu, aku
menjadi sadar sesadar-sadarnya dan meyakini serta mengamini bahwasanya memang benar hati Ibu seluas samudera,
kasih sayang Ibu tak akan pernah hilang sepanjang masa.
Kisahku
dengan Ibuku…
Malam itu, kandunganku yang sudah berada di
minggu-minggu terakhir. Rabu 29 Agustus 2012. Sehabis sholat isya’ ada bercak
darah di celana dalam yang aku pakai. Rasa nikmat kontraksi juga terasa kuat
sekali. Ada rasa takut akan tetapi penuh harap karena aku juga ingin segera
melihat buah hatiku terlahir ke dunia ini. Aku bilang kepada Ibu “Ibu... Kok
Pipit (panggilanku di rumah) keluar darahnya, ya? Apa.. ini ciri-ciri orang mau
melahirkan, perut Pipit juga sakit banget..” Ibuku menjawab, “Iya, ndak usah
takut, bismillah, banyak sholawat, jangan bilang ‘tidak kuat’, malam ini juga
kita ke rumah sakit”. Mendengar nasehat Ibu justru malah membuat tangisku
pecah, ini adalah pengalaman pertama. Belum tahu bagaimana rasanya melahirkan.
Kami bertiga; Bapak, Ibu, dan aku bergegas ke rumah sakit bersalin di Kota
Pekalongan. Jam 00.10 tengah malam kami sampai di sana, maklumlah Kesesi memang
jauh dari Kota Pekalongan. Suami yang masih berada di Semarang aku kabari,
malam itu juga dia pulang ke Pekalongan karena aku minta untuk ada di dekatku
saat aku melahirkan nanti. Tak lama hanya bebarapa menit setelah kami tiba di
rumah sakit bersalin, suamiku juga tiba di sana. Alhamdulillah, sudah kumpul
dan semuanya deg-dengan. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat itu, yang pasti
perasaan campur aduk entah bagaimana mendiskripsikannya aku juga tak mampu.
Kamis, 30 Agustus 2012. Pembukaan satu. Dokter
menawarkan untuk induksi supaya kontraksi bisa lebih sering dan pembukaan lebih
cepat. Tetapi Ibuku menolak tawaran dokter dengan berbagai alasan. Sangat
berbeda dengan nasehat Ibu sebelum kami tiba di rumah sakit, Ibu yang saat itu
menasehati aku supaya terus mengingat Allah, tawakal, dan menguatkan aku, kini
malah berbalik. Justru Ibu yang malah terlihat khawatir. Kekhawatiran Ibu tentu
dengan beberapa alasan. Pertama, Ibu tahu aku anak yang manja dan cengeng,
dengan induksi rasa sakit kontraksi terasa lebih sakit bekali lipat dibanding
kontraksi alami, dan Ibu pernah merasakan bagaimana dipacu saat melahirkan
Cahya, adikku. Kedua, Ibuku tahu aku punya penyakit sesak napas, dan penyakit
dalam lain dan itu membuat Ibu takut aku kenapa-napa. Di sini jelas sekali
justru Ibuku yang terlihat pucat, khawatir, dan wanti-wanti supaya aku tidak
dipacu. Dan alasan ketiga, Ibu nggak tega melihat aku kesakitan. Saat itu, Ibu
malah bilang ke dokter supaya aku mau operasi caesar. Tapi aku menolak karena
aku kekeuh ingin merasakan bagaimana partus normal, insya Allah aku bisa!
Sampai kesorean harinya, ternyata pembukaan belum
bertambah, aku yang nggak sabar pengen segera melahirkan akhirnya bilang ke
dokter dan bidan untuk dikasih obat pacu. Singkatnya, meskipun Ibu masih belum
setuju, aku meyakinkan Ibu kalau aku pasti bisa, aku juga minta dido’akan
supaya prosesi persalinan berjalan lancar sesuai yang diharapkan. Suami tanda
tangan surat persetujuan pemberian obat pacu jam 23.45 wib. Sebelum obat
tersebut disuntikkan, aku minta Ibu tersenyum dan aku juga membuktikan kalau
aku kuat. Alhamdulillah Ibuku akhirnya setuju, dan satu-satunya orang yang
setia di sampingku adalah Ibu. Suami? Ada, tapi tidak terus menerus di sampingku
karena katanya nggak tega lihat aku yang sedang berjuang antara hidup dan mati.
Kesetiaan suami dilakukan dalam bentuk yang lain. Dia memilih untuk mendoakan
aku di kamar perawatan dengan sholat sunah dua rokaat dan mengaji surat
Al-Kahfi dan Maryam berkali-kali.
Kamis malam itu, Ibu tak henti-hentinya membaca doa. Mulutnya
tak berhenti berdzikir. Menuntun aku untuk selalu beristigfar dan menyebut nama
Allah. Tak hanya sekali aku melihat Ibu meneteskan air matanya. Taukah apa yang
aku bilang ke Ibu? “Ibu cengeng, kata Ibu Pipit yang cengeng, ternyata Ibu
lebih cengeng dari Pipit, udah tho, Bu. Jangan nangis terus, kalau Ibu nangis,
Pipit nanti jadi ikut nangis, kalau nangis ntar Pipit sesak
napas................”. Aku paham sekali, Ibu seperti itu karena memang
kekhawatiran yang dirasakan Ibuku sangat luar biasa. Aku anak yang sudah
mempunyai penyakit dalam sejak kecil. Tentu keadaan saat itu tak lepas dari
pikiran macam-macam, bukan su’udzon, tetapi ini kekhawatiran. Berjuang antara
hidup dan mati saat melahirkan itu memang benar adanya. Kalau nggak hidup, ya
mati!
Aku melewatkan malam itu berdua dengan Ibu. Suami
sesekali masuk ke ruangan bersalin, memberi aku madu dan menyuapi roti untuk
tenaga, tapi yang namanya sedang merasakan kontraksi, pas mau memasukkan
makanan ke mulut, nikmat sakit kontraksi datang teratur membuat aku tak ingin
makan apapun. Hanya sesendok madu dan sebutir telur ayam kampung yang bisa aku
telan, karena memang tak perlu dikunyah seperti roti. Ibuku mengelus-elus
pinggul dan bagian belakang yang terasa panas. Karena sudah pengalaman jadi tau
bagian mana saja yang terasa runyam saat mau melahirkan. Hingga pagi menjelang,
pembukaan baru bertambah menjadi pembukaan tiga.
“Ibu.. Pipit mau melahirkan kok ya susah gini, ya..
sudah sejak Rabu kemaren sampai hari ini Jum’at kok dedek bayinya belum lahir
juga, sudah tiga hari, Pipit capek Bu,” ucapku sambil meronta kesakitan
“Yang sabar, ya.. Bismillah, Istighfar, Mohon sama Gusti
Allah supaya dimudahkan, Allahumma
yassir wa laa tu’asir. Serahkan semua sama Gusti Allah, Ibu di sini terus ngancani
Pipit” Jawab Ibu menguatkan aku
“Bu... Kalau Pipit selama ini banyak salah sama Ibu,
Pipit minta maaf yang sebesar-besarnya, ya, Bu.. Pipit jadi anak yang bandel,
nggak nurut orang tua, kalau disuruh sering nggak mau, kalau dinasehati sering
membantah. Mungkin ini yang membuat Pipit sulit melahirkan...” tambahku sambil
megang tangan Ibu kuat-kuat. Asli nggak bisa lagi membendung air mata, tetapi
kalau aku nangis aku pasti sesak napas, jadi sebisa mungkin aku tahan itu
semua.
“Pipit... anak Ibu sing paling ayu, Ibu sudah
memaafkan kamu.. sebelum kamu meminta maaf.. sebesar apapun kesalahan anak, semarah apapun Ibu karena
nakalnya anak, Ibu tulus memaafkan kamu, dan anak-anak Ibu yang lain. Ibu juga
minta maaf sama kamu, kalau selama ini Ibu pernah galak. Ibu sayang sama kamu
dan adik-adikmu, Ibu benar-benar minta maaf, ya.. sudah.. sekarang dikuatkan,
tetap bertawakal sama Allah, jangan bilang ‘capek’ lagi, Bismillah..........”
belum selesai Ibu berbicara, bidan datang dan mengecek pembukaan, Alhamdulillah
tambah satu, pembukaan empat. Kemudian bertambah.. dan bertambah, hingga
pembukaan delapan, sembilan, dan sepuluh. Jam 09.25 wib, pagi itu, Jumat, 31
Agustus 2012. Lahirlah anak aku yang pertama, ditemani ibuku di ruang bersalin.
Rasa bahagia membuncah tak terkendali. Ibu menciumi
aku dan memelukku, “Alhamdulillah, Piiiitt.. kamu sudah jadi Ibu, dan Ibu
sekarang sudah punya cucu”.. Rasa khawatir kini berubah menjadi bahagia. Aku
yang masih lemas, hanya bisa terus mengucap kalimat hamdalah berkali-kali.
Ibuku langsung keluar ruangan mencari menantunya, yang ternyata masih di kamar
perawatan sedang membaca Alquran. Dimintanya untuk segera mengadzani dedek bayi
yang belum punya nama, saat itu.
Kata Bu Bidan, Ibu keluar ruangan bersalin saat
memanggil suamiku sambil ngomong sendiri tapi sambil nangis. “dadi Ibu iku abot
tenan, iki jenenge perjuangan, iki jenenge perjuangan antara urip lan mati,
Alhamdulillah anak lan putuku selamet, Alhamdulillah matur nuwun Gusti Allah..
Nembe saiki ngerti prosese bayi lahir, nembe saiki.............” Kata Bu Bidan
seperti itu, aku juga masih belum percaya kalau aku sudah melahirkan, sakitnya
sampai tiga hari, ternyata proses bayi keluar nggak sampai tiga menit. Dalam
hati berkata, ini pasti karena aku meminta maaf sama Ibu tadi pagi, setelah
percakapan itu ajaib begitu cepat pembukaan dan bayiku lahir. Sungguh, Ridho
dan doa Ibu dikabulkan Tuhan, sebaliknya Murka Tuhan karena murkanya.
Terima kasih, Ibu.. Engkau memang wanita paling baik
di dunia ini. Cucu pertama Ibu cantik, kan? Seperti yang Ibu inginkan, cucu
perempuan. Maaf Ibu adalah perantara penolongku, mempercepat proses
persalinanku. Terima kasih..
Bukan hanya Ibuku, Ibu mertuaku di Blora juga
mendoakan aku tanpa henti sejak dikabari hari Rabu, beliau mengerjakan sholat
sunah juga untuk aku, berdzikir dan berdoa khusus untuk kelancaran
persalinanku. Memang benar, yang namanya IBU itu akan selalu memberikan yang
terbaik untuk anak-anaknya. Seperti yang Ibuku lakukan kepadaku, insya Allah
begitu juga apa yang sedang aku lakukan untuk anakku, Noofa.
Untuk Ibuku dan Ibu mertuaku, Pipit minta maaf atas
segala khilaf dan kesalahan, banyak sekali dosa yang sudah Pipit perbuat.
Semoga Allah selalu melindungi Ibu berdua. Semoga Ibu berdua sehat selalu.
Selamat hari Ibu, Pipit hanya bisa berdoa semoga Ibu selalu bahagia di dunia
dan akhirat. Amin. Ibu, Engkaulah segalanya bagiku. Dan tak lupa juga kuucapkan maaf kepada Bapak dan Bapak Mertuaku, doa terbaik untuk antum
semua. I love you. []Noorma Fitriana M. Zain[]
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera.
Post a Comment
Post a Comment